Diskusi Bedah Buku di Bengkel APPeK, Mahasiswa UNDANA Soroti Praktik KDRT dan Budaya Belis
Details
By Tim Media Bengkel Appek
Tim Media Bengkel Appek
Hits: 584
Kegiatan diskusi Bedah Buku di Kantor Bengkel APPeK NTT
Kupang, bengkelappek.org - Dalam rangka mendorong budaya Literasi di kalangan Mahasiswa Magang FISIP UNDANA Kupang, Koordinator Umum Bengkel APPeK NTT Vinsen Bureni menggelar kegiatan diksusi bedah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Kegiatan tersebut dilaksanakan di Kantor Bengkel APPeK pada Jumat, 12 September 2025 dan melibatkan 11 Mahasiswa Magang dari Jurusan Adminsitrasi Negara dan Ilmu Komunikasi.
Kegiata diskusi bedah buku ini merupakan salah satu rutinas yang dijadwalkan 2 kali seminggu pada Senin dan Jumat yang akan dilaksanakan oleh Mahasiswa FISIP Undana selama menjalani masa magang yang akan berlangsung empat bulan di Bengkel Appek NTT.
Hal ini dilakukan agar mahasiswa tidak hanya terlibat dalam program pembelajaran terkait isu-isu sosial di masyarakat, tetapi juga secara bergilir membedah buku yang mereka baca.
Pada kesempatan kali ini giliran Angga dari Jurusan Ilmu Komunikasi yang membedah buku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Diskusi berlangsung interaktif dengan partisipasi 12 mahasiswa magang yang aktif mengajukan pertanyaan dan masukan.
Beberapa pertanyaan menarik muncul dalam forum tersebut. Uto menanyakan apakah asisten rumah tangga (ART) termasuk dalam lingkup UU PKDRT, serta bagaimana hukum memandang ART yang diberi beban kerja tinggi dengan upah rendah. Pertanyaan lain datang dari Vilan tentang realisasi hak-hak korban KDRT, khususnya terkait bantuan hukum gratis. Sementara itu, Franklyn menanyakan saran presentator bagi perempuan NTT yang takut bersuara karena terikat dengan belis.
Angga menjelaskan bahwa ART termasuk dalam subjek korban KDRT berdasarkan UU 23/2004. Undang-undang ini menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga mencakup suami, istri, anak, keluarga karena darah atau perkawinan, hingga pekerja rumah tangga yang menetap di dalam rumah tersebut.
Menjawab pertanyaan lanjutan, Dino menambahkan bahwa kasus ART yang diberi upah tidak sesuai sebenarnya dapat dipidanakan. Namun, realitas sosial-ekonomi sering membuat ART tetap bekerja meskipun upahnya tidak layak.
Terkait hak-hak korban KDRT, Angga menegaskan bahwa pendampingan hukum gratis memang ada dan telah dijalankan. Ia mencontohkan kasus yang ditangani LKBH Fakultas Syariah IAIN Manado tahun 2024, yang mendampingi korban mulai dari konsultasi, penyusunan laporan, hingga persidangan. Namun, Vilan memberikan sanggahan bahwa realisasi tersebut masih sangat terbatas. Banyak korban KDRT tetap kesulitan melapor karena biaya, sehingga kasus sering dibiarkan begitu saja.
Pertanyaan Franklyn dijawab oleh Putri. Ia menekankan bahwa banyak perempuan NTT enggan melapor karena penyelesaian sering diserahkan pada tokoh adat atau agama, yang justru membuat korban takut dipandang buruk oleh masyarakat. Cecin menambahkan bahwa perlu melihat konteks penyebab KDRT terlebih dahulu. Yati menyoroti kuatnya budaya patriarki yang membuat perempuan cenderung pasrah. Rolani menekankan pentingnya perubahan pola pikir agar belis tidak dijadikan alasan pembenaran KDRT.
Diskusi makin hidup ketika Vinsen Bureni ikut memberikan pandangan. Menurutnya, perempuan adalah pihak paling dirugikan dalam sistem belis, karena menanggung beban psikis yang besar. Ia menegaskan pentingnya pendidikan dan keterampilan bagi perempuan agar mandiri secara ekonomi, sehingga risiko KDRT bisa ditekan.
“Faktor ekonomi adalah penyebab utama terjadinya KDRT. Karena itu anak perempuan harus punya penghasilan sendiri, tidak hanya mengandalkan suami,” jelasnya.
Selain itu, Vinsen menekankan pentingnya memahami karakter pasangan, keterbukaan, komunikasi kebutuhan, serta membangun rasa saling percaya sebelum menikah.
Kakak Ino, salah satu Staf Magang Prakerja di Bengkel APPeK NTT juga memberi masukan. Ia mengingatkan bahwa kekerasan tidak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. Ia mengkritisi penyelesaian kasus melalui tokoh adat atau agama yang kerap tidak berpihak pada korban. Menurutnya, korban sering diarahkan berdamai demi menjaga keutuhan rumah tangga, tanpa mempertimbangkan penderitaan yang dialami.
Ino juga menyoroti minimnya pengetahuan masyarakat tentang hak-hak korban, seperti bantuan hukum gratis. Karena itu, menurutnya, kaum intelektual perlu turun tangan mengedukasi masyarakat dan membantu korban memperoleh perlindungan hukum.
Sebagai penulis, saya menilai bahwa pemahaman yang baik terhadap pasangan adalah kunci untuk mencegah KDRT. Mengenal karakter, menjaga komunikasi, dan membangun keterbukaan dapat mengurangi kesalahpahaman dalam rumah tangga.
Sejak disahkannya UU 23/2004 tentang PKDRT, harapan besar sempat tumbuh bahwa korban kekerasan, terutama perempuan dan anak, mendapat perlindungan hukum yang layak. UU ini menjadi tonggak penting yang menegaskan bahwa KDRT bukan lagi urusan privat, melainkan masalah publik yang membutuhkan intervensi negara.
Namun, dalam praktiknya implementasi UU ini kerap mandek. Banyak korban tidak tahu hak mereka, sementara yang melapor sering dibungkam oleh keluarga, aparat, atau lembaga adat. Di wilayah dengan budaya patriarki kuat seperti NTT, korban sering kali kalah oleh norma budaya dan tekanan sosial. Bahkan, jika seorang istri melapor, ia bisa dianggap mempermalukan keluarga atau “durhaka” kepada suami — terlebih jika belis sudah dibayar mahal. (Vilan & Yati)***
Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung
Tentang Kami
Kami adalah Organisasi Berbadan Hukum, Perkumpulan Nirlaba yang Melakukan Fasilitasi dan Implementasi Langsung dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan, Perempuan, dan anak pada Komunitas Desa-Kelurahan, serta Pengembangan TKLD di Berbagai Level.
Alamat
Kantor Bengkel APPeK
Jalan Raya Baumata Penfui Lingkungan Kampung Baru, RT 024/RW 011 Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur